Dunia Praktikum Pengalaman Mahasiswa Informatika Menghadapi Proyek Nyata

Budi Setiawan
3 min read4 days ago

--

Menghadapi dunia praktikum sebagai mahasiswa informatika bisa diibaratkan seperti menyusuri hutan rimba — tapi jangan bayangkan ada harimau atau ular, karena di sini yang menghantui adalah bug dalam kode dan deadline yang menunggu dengan sabar. Musim praktikum adalah periode di mana teori-teori ciamik yang diajarkan di kelas bertemu dengan kenyataan dunia nyata yang penuh liku. Jika biasanya kita berjuang dengan soal-soal di ujian yang mungkin (atau mungkin tidak) akan kita gunakan di masa depan, saatnya kita berhadapan dengan proyek yang beda jauh — proyek yang bukan sekadar angka dan huruf, tetapi segala hal yang bisa membuat jari kita pegal ketikan dan kepala kita pusing tujuh keliling.

Proyek Pertama: Web Canteen dan Drama Sandiwara

Bayangkan, kita sebagai mahasiswa baru diminta untuk bekerja dalam kelompok kecil untuk membuat website kantin kampus. Awalnya, semua orang terlihat bersemangat. Kita tidak sabar untuk menampilkan menu makanan yang terlihat lezat — atau setidaknya foto-foto makanan yang diambil dari Google Images. Namun, ketika dihadapkan pada tugas nyata, semua rencana mulai berantakan.

Di sinilah drama datang. Satu anggota tim mengaku sebagai ahli HTML, tetapi nyata-nyatanya dia tidak bisa membedakan antara <div> dan <span>. Yang lainnya awalnya terlihat sangat jenius saat mendemonstrasikan CSS sampai kita semua sadar bahwa yang dia tunjukkan adalah efek hover dari tombol "Play" di YouTube. Akhirnya, kami mencoba menggabungkan semua pengetahuan kami, dan ketika satu orang berhasil membuat tombol “pesan” yang berfungsi, kami merayakannya seperti memenangkan Piala Dunia—padahal, yang kami buat cuma tombol.

Pada saat presentasi, kami penuh percaya diri. Namun, ketika salah satu rekan kita membawa laptop dan membuka website, ternyata host kami jarang online. “Siapa yang butuh koneksi internet?” tanya si ahli HTML dengan penuh percaya diri. Semua orang hanya bisa menggelengkan kepala dan berharap bisa menyajikan paparan yang lebih baik daripada presentasi yang gagal.

Proyek Kedua: Aplikasi Pengingat Ujian dan Sistem “Crisis Management”

Dalam proyek kedua, kami diberi tugas untuk membuat aplikasi pengingat ujian. Ini seharusnya mudah, kan? Cukup buat tampilan yang friendly, tambahkan beberapa fitur notifikasi, dan voila! Namun, seperti biasa, jalan menuju kesuksesan itu dipenuhi dengan jebakan. Tiba-tiba ide brilian untuk mengingatkan pengguna setiap hari malah berujung pada notifikasi spam yang membuat orang merasa seolah-olah mereka terjebak dalam kumpulan email promosi.

Satu teman mencoba menetapkan pengingat untuk jam 6 pagi, namun tidak ada yang menyangka dia tidak akan bangun sampai jam 10. “Kenapa semua notifikasiku berdering setiap hari pada jam setengah tujuh pagi?” tanya satu teman lain dengan tatapan sinis. “Karena itu sepertinya waktu yang tepat untuk bangun, kan?” jawab teman yang satu lagi dengan senyum lebar. Itu adalah titik di mana kami tanpa sadar setuju untuk membagi rasa sakit dan menunda pengingat kami sampai malam sebelum ujian.

Proyek Ketiga: Game 2D yang Jatuh Cinta dengan Kegagalan

Ketika kami berpikir bahwa membuat aplikasi sudah cukup menantang, mampirlah pada proyek terakhir: membuat game 2D. Dengan harapan tinggi, kami memimpikan karakter lucu, level menarik, dan tentu saja, bug yang minimal. Namun, kenyataannya adalah karakter kami lebih mirip kue yang ditumpuk daripada pahlawan yang beraksi. Kami terus berdebat tentang desain: “Karakter utama harus berwarna merah muda!” teriak satu orang, sementara yang lain yakin karakter itu harus berwarna ungu. Akhirnya, kami berhasil menemukan kesepakatan: karakter kami berwarna pelangi. Siapa yang peduli tentang konsistensi visual, bukan?

Setiap kali kami menjalankan game, alih-alih menemukan kemenangan, semua orang terjebak dalam level pertama. Beberapa orang mulai mempertanyakan nilai dari proyek ini. “Apakah kita perlu menyertakan fitur di mana pemain bisa jatuh ke dalam lubang dan tidak bisa kembali?” guraunya. Dalam prosesnya, keinginan untuk menyelesaikan proyek ini semakin menemui jalan buntu, hingga akhirnya kami menyadari: kami lebih cocok menjadi pemain game daripada pembuatnya.

Menyadari Keberhasilan di Tengah Kekacauan

Setelah melalui semua pengalaman ini, kami akhirnya menyadari bahwa dunia praktikum bukanlah tentang menghasilkan produk yang sempurna, melainkan tentang pengalaman berharga, persahabatan yang terjalin, dan pelajaran penting dalam hal manajemen waktu (atau lebih tepatnya, manajemen kekacauan). Mungkin, pada akhirnya, bukan bug dalam kode yang sebenarnya harus diperbaiki, tapi cara kita menghadapi ketidakpastian yang membuat kita lebih kuat.

Jadi, bagi kamu yang sedang berjuang dengan praktikum, ingatlah bahwa semua kekacauan ini adalah bagian dari proses. Tertawalah, tersenyumlah, dan jangan lupa untuk memisahkan antara bug dan ide yang bagus. Siapa tahu, di balik setiap masalah bisa ada momen komedi yang bisa kamu bagi saat kelulusan nanti!

--

--